Selamat membaca
Wiwin Nurkamelia, SAg Juara Nasioal Resensi Kitab Kuning
semoga bermanfaat

Categories

Popular Posts

Pages

Tes Paragraf

Diberdayakan oleh Blogger.

judul widget leftbar

Labels

Followers

Labels

Labels

Labels

Wiwin Nurkamelia, SAg Juara Nasioal Resensi Kitab Kuning

Wiwin Nurkamelia, SAg Juara Nasioal Resensi Kitab Kuning



Wiwin Nurkamelia, SAg Juara Nasioal Resensi Kitab Kuning
Berawal dari Kegemarannya Mempelajari Pemikiran Para Fuqoha



Mengaku lemah dan tidak punya kemampuan saat diminta bercermah, namun hobi jika diminta mengajar santri bidang nahwu sharaf dan menuangkan pemikirannya pada tulisan. Berburu buku dan koran bekas menjadi kegemaran yana masih tertanam hingga kini.
Hobi mengaji ilmu nahwu sharaf sudah tertanam sejak usia kanak-kanak. Saat balita sering ikut Apa ( panggilan ayahandanya dalam kebiasaan Sunda)  mengaji, meski sekedar tidur dan mengompol di bawah kolong meja. Sering kali ketus jika ketinggalan mengaji subuh walau hanya tertinggal beberapa baris saja. Di Usia remaja Wiwin Nurkamelia, SAg saat itu tidak menyia-nyiakan waktu liburan sekolah. Sejak SMP hingga SMA ia berpindah-pindah dari pesantren ke pesantren untuk sekedar mengikuti santri kilatan atau sorogan (mengaji langsung ke ajengan)  Sejumlah pesantren bersar pernah disinggahinya. Selain belajar langsung dari  dari ayahanda KH. Drs. I .Solihin, MSi. Ia Pernah mengaji  di Pesantren Sukahideung, Sukarme, di bawah asuhan KH. Drs. II Abdul Basith, Pernah mengaji langsung memperdalam nahwu sharaf ke KH Ruhiat  (Mama Ruhiat)  Pesantren Bantargedang, pernah juga nyantri mempelajari ilmu fiqih di Cipanengah dibawah asuhan KH. Syarif Hidayat (Ajengan Dayat).  

Mesti sang guru yaitu Ajengan Dayat sangat konsisten dan tegas dalam melaksanakan fiqih ahlu sunah wal jamaah, madzhab safi’i,  namun Ceu Wiwin (panggilan Wiwin Nukamelia saat di pesantren tersebut) tidak kaku dalam berfikih, ia sangat terbuka membuka wacana berbagai pemikiran seputar ilmu fiqih.  Tak heran ia lebih tertarik mempelajari pemikiran para ulama ketimbang memperdebatkan materi fiqihnya. Namun, pada kenyataannya ia sangat mengamalkan sekali fiqih aswaja yang dijarkan Ajengan Dayat.
Ketertarikannya mempelajari para pemikir ulama fikih  dirinya memutuskan untuk kuliah di IAIN Sunan Gunung Djati jurusan perbandingan Madzhab dan hukum. Tak heran saat diminta mengajar di kalangan para santri  di pesantren Persis, ia tidak merasa kesulitan. Bahkan, santri yang belajar ke dia seperti mendapat materi baru yang belum pernah didapatkan dari sang guru sebulmnya, semakin hari jumlahnya semakin banyak , tidak hnaya kalangan anak-anak dan remaja, tapi orang yang sudah berkeluarga dan usia paruh abad pun penasaran ingin mengaji yang dinilainya baru. Hal ini  ditemukan karena gaya mengajarnya saat menerangkan fiqih dan nahwu sharaf.
Pemahaman dan pengalaman ini lah membuat Ceu Wiwin tertarik untuk ikut syaembara resensi Kitab Kuning yang ia pilih kitab taqrib karangan Ulama terkanal Abu Suja, seorang ulama yang pemikirannya dia anut, seorang ahli fiqih yang sangat ia kagumi karena ketawadhuan dan tinggi keilmuannya. “ Ampun Paralun, (sunda, red), saya tidak bermaksud mengkritisi pemikiran beliau seorang ulama besar, tabu bagi saya sebagai santri yang mengikuti pemahaman beliau untuk mencari, menimbang terutama mempelajari titik kelemahan beliau sebagai seorang fuqoha, melainkan sekedar memahami secara kontektual pemikiran belau yang menurut saya sudah benar,” katanya.
Dirinya juga ingin menyampaikan  bahwa pemikiran yang tercatat di sebuah karya monumental itu belum final bahwa akan terus berkembang dan masih perlu dikembangkan sesuai dengan kondisi perkembangan jaman. “ Pemikiran yang tertuang dalam ilmu fikih itu tidak akan final karena akan tetap memberi ruang kebebasan kepada kita untuk menemukan pemikiran yang disesuaikan dengan perkembangan jaman,” jelasnya. Bagaiman secara singgat pemikiran Ceu Wiwin berikut Hasil Wawancara dengannya seputar pengalamannya saat mengikuti resensi kitab kuning.
Bagaimana sebaiknya mendudukan hukum fiqih menurut anda?
Saya akan jelaskan dulu, Fiqih itu merupakan produk hukum, meteri hukum yang merupakan hasil olahan para ulama dengan methode ijtihad atau hasil pemikiran para ulama yang sumbernya mengacu kepada quran dan hadist. Istilah/term yang bisa dijadika acuan itu ada  hukum islam, fikih  dan fatwa.  Kenapa saya bahas hal ini  karena fikih di indonesia baru sebagian  menjadi  hukum positif yaitu hanya fikih munakahat atau fikih perkawinan dengan terbitnya  kompilasi hukum islam dan fikih mumalah atau dengan istilah ekonomi syariah.
Bagaimana menurut ibu sebaiknya seorang muslim dalam mendudukan fikih sebagai produk hokum?
Seorang muslim harus menempatkan hukum fikih itu secara porporsional. Artinya fikih itu ya fikih sebuah pemikiran para ulama yang kompeten, bukan produk hukum yang sudah final. Pemikiran tersebut akan selalu dinamis sesuai dengan situasi, pekembangan dan kondisi tempat makanya dalam Nahdlatula Ulama ada Almuhafadhatu alaa Khodimi Sholil Wal Ahdu Biljadidil Aslah yang artinya memelihara nilai-nilai (pemikiran) lama yang baik,  dan mengambil (pemikiran) nilai-nilai baru yang lebih baik. Ada juga Alhukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman.
Kenapa hasil pemikiran para ulama itu terkadang berbeda-beda dalam mentapkan  hukum?
Nabi Muhammad SAW begitu menghargai jika ada ummatnya yang beda pemikiran dalam menetapkan sebuah produk hukum. Sehingga beliau mengatakan perbedaan pendapat bagi ummatku adalah rahmat. Ketika mujtahid berijtihad dan pemikirannya benar ia akan memperoleh pahala dua. Dan ketika sorang mujtahid  berijtihad pemikirannya salah ia  akan memperoleh pahalanya satu. Sebagaimana dalam kaidah fiqih  dijelaskan  Al ijtihaadu laa yun qodu bil ijtihadi yang artinya hasil ijtihad itu tidak bisa dibatalkan dengan munculnya ijtihad yang baru. Makanya kita sebagai orang yang menjalankan hasil para mujtahid itu jangan sampai merasa hukum fikih yang kita jalankan itu benar-benar produk yang sudah tuntas.
Maksudnya Pemikiran Fukoha itu akan terus berkembang dan terus berlaku?
Ya Benar, Kerena hukum itu akan terjadi perubahan tergantung pada tempat, waktu dan keadaan. Itu terjadi juga terhadap hukum positif di Negara kita. Dalam satu orang fukoha saja pemikirannya akan sangat kondisional, sebagai contoh madzhab syafi’I dikenal dengan adanya qoul qodim yaitu fatwa lama saat beliau tinggal di irak dan muncul  qoul jadid yaitu saat beliau berada di mesir, fatwa tersebut muncul berdasarkan hasil penyesuaian atau sosio-kultural yang berlaku saat itu. Tagoyyurul Ahkaam Bi Tagoyyuril Amkinah Wal Azminah Wal Ahwaal  Perubahan hukum itu bergantung pada perubahan tempat, waktu dan keadaan.

Bagamana dengan quran dan hadis itu sendiri kedudukannya dalam menempatkan fiqih?
Kalau fikih itu produk hukum yang tuntas jelas bertentangan dengan tipikal hukum islam yang dinamis tidak eklusif yang bersumber darial- quran dan hadist. Alquran  membiarkan teksnya itu bersifat global yaitu berupa petunjuk bagi orang-orang yang berfikir.Dan hadits sebagai pendamping yang menjelaskan al-quran secara rinci.  Makanya, alquran sebagai firman Allah itu ada yang bersifat quraniyah berupa tekstual dibukukan dalam bentuk kitab alquran dan kauniyah yaitu ayat kontekstual yaitu berupa tanda-tanda alam yang menggambarkan kebesaran sang pencipta. Ayat quraniyah pun memposisikan bak kilauan intan berlian yang cahayanya memancar ke berbagai arah, artinya akan mewarnai pemikirin yang nantinya akan ditetapkan sebagai sumber hukum selama dalam koridor, diambil atau bersumber dari alquran dan hadist Nabi SAW.
Apa dengan dasar ini anda berani mengkritisi pemikirannya Abu Suja pengarang kitab Taqrib sebagai fuqoha yang kapabelitas keilmunnya tidak lagi diragukan dan dijadikan acuan di Indonesia?
Tepatnya bukan mengkritisi pemikiran  Abu Suja nya, tapi tepatnya membaca secara keseluruhan pemikiran beliau yang pemikirannya dijadikan acuan pokok di pesantren. Lalu saya mencoba memahamiya secara tekstual dan kontekstual ternyata ada sisi yang belum tuntas. Artinya ulama fuqoha ini memberikan kesempatan kepada kita untuk menuntaskannya pemikiran tersebut. Kalau saya mengkritisi pemikiran belaiu menimbang dan mecari kelemahannya “ampun paralun” saya sebagai “santrinya” tentu sangatlah tidak pantas. Tapi pada prinsifnya para imam madzhab juga tidak memaksa  atau menginginkan pemikirannya untuk diikuti, beliau hanya menjelaskan quran dan hadist berdasarkan hasil pemikirannya. Artinya kita juga mengamalkan pemikiran itu jangan sampai kering dengan nilai Tapi harus kaya dengan nilai. Dengan demikian mempelajari fikih jangan dari teknya saja tapi kontentualnya juga harus dipelajari, yaitu ketokohannya, sosio kulturalnya dan perkembangan politik di Negara fukoha pada aat itu. Begitu juga dengan imam yang empat yaitu, imam Hanafi,Maliki syafii,  hambali,  tentunya pemikirannya sangat terkontaminasi oleh permasalahan di atas tersebut makanya akan menemukan perbedaan-perbedaan.  (*)

0 komentar

Silahkan Beri Komentar Saudara...

Buku Tamu







Template Oleh trikmudahseo