KH. Ahmad Tabroni. Mutiara Ilmu yang Tersembunyi di Pantai Utara
Sebagai orang yang
pernah hidup di jamannya ketika mengingat nama KH. Ahmad Tabroni, hati saya
bergetar karena banyaknya peristiwa yang saya kenang peristiwa yang menjadi
suri tauladan, menakjubkan, seputar kharisma dan kesolehannya menorehkan sejarah
tetesan tinta megan untuk dikenang sepanjang masa.
Tulisan ini berdasarkan
keta`dziman penulis terhadap beliau. Semoga beliau meridhoinya. Karena tidak
ada niatan lain kecuali untuk menceritakan kisah-kisah yang baik yang
mengandung pelajaran supaya kami semua bisa mencontohnya,
Penulis tidak tahu
persis kapan KH. Ahmad Tabroni bin H.
Romli di lahirkan.
Namun menurut Wak Haji Emin Salah seorang putra KH.
Ahmad Tabroni, Saat H. Romli
belum memiliki putra ia pernah bersilaturahmi ke orang soleh bernama Amsar yang
tinggal di Banten. Saat Amsar bersilaturahmi ke kampung di mana H. Romli
tinggal yaitu di Desa Rangdu Mulya, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Jawa
Barat, H. Romli sudah memiliki putra dua.
Saat itu Amsar kaget melihat KH. Ahmad Tabroni keci, yang sedang bermain-main dengan kakanya. Ia seakan
melihat gumpalan cahaya putih yang membungkus badan KH.
Ahmad Tabroni. Lalu Amsar
berpesan kepada H. Romli agar ia berhati-hati menjaga KH.
Ahmad Tabroni kecil, ia
menjelasan jika kelak anak tersebut akan menjadi orang sholeh dan panutan
masyarakat.
Apa yang diomongkan Amsar terbukti KH.
Ahmad Tabroni seorang ajengan sufi yang memiliki pesantren dan mengajar santri
di Sekitar Pantai Utara, tepatnya di Desa Rangdumulya, Kecamatan Pedes,
Kabupaten Karawang. Semasa hidupnya KH.
Ahmad Tabroni pernah nyantri di KH. Tubagus Ahmad Bakri atau yang lebih dikenal
dengan Mama Sempur, seangkatan dengan KH Ahmad
Dimyati atau Abuya Dimyati Banten dan
KH, Ahmad Busyaeri Rawamerta.
Beliau juga mengenyam pendidikan di sejumlah pesantren di antaranya Sukabumi.
Saat sudah menjadi ajengan lewat mimpi ia dipertemukan dengan seorang guru
thoriqoh naksabandiyah kodariyah yaitu Mama Ajengan Abdul Mutholib di Poponcol,
Karawang. Dan lewat petunjuk mimpi tersebut di alam nyata akhirnya beliau
sempat berguru ke mursyid tersebut.
KH. Ahmad Tabroni
sangat bersahabat dengan Abuya Dimyati, keduanya tidak hanya sebagai sahabat,
namun satu sama lain saling memuji soal khasanah keilmuannya. Bahkan, antara
Abuya Dimyati dan KH. Ahmad Tabroni sering kali bertamu dan meminum segelas air
secara bersamaan keduanya berharap barokah.
Tindakan ini dilakukan,
konon saat KH. Ahmad Bakri atau Mama Sempur meninggal, Abuya memimpikan jika
keranda Mama Sempur itu diusung menuju pesantren KH. Ahmad Tabroni.
Bahkan, menurut cerita sepuh di sana,
keilmuan dan kesufian Mama Sempur berasimilasi (menyatu) terhadap KH. Ahmad
Tabroni sedangkan keilmuan Sufi dan kanuragannya berasimilasi terhadp Abuya.
Atas mimpi itu keduanya sama-sama mentadzimkan.
Tidak banyak memang
yang mengenal sosok, pemikiran dan perjuangan KH. Ahmad Tabroni. Karena beliau
lebih banyak “sembunyi” atau tinggal di pesatrennya dan hampir tidak pernah
pepergian ke luar kota. Ia sesekali pepergian menuju Citeko, Plered Kabupaten Purwakarta jika
menghadiri acara haul gurunya yaitu Mama Sempur.
Wajahnya putih
bercahaya, ia sering memakai jubah putih dan bersarung corak dengan berbaju
koko putih dan peci haji putih yang dibalut surban (bendo) suaranya pelan, namun anehnya kata demi kata
yang meluncur dari bibirnya selalu bisa didengar dengan jelas. KH. Ahmad
Tabroni seorang kyai yang berjalan menunduk tidak pernah mensejajarkan
kepalanya saat berjalan, gaya berjalnnya cepat dan tidak pernah menoleh ke
kanan dan kiri. Beliau yang matanya terjaga memandang lain jenis. Saat mengisi
pengajian ibu-ibu, ia mengajar dengan dikelilingi hijab berwarna hitam. Ia juga
termasuk ajengan yang anti mengenakan speker, tetapi tidak pula mengharamkannya
bagi pengguna speker.
Kendati tidak pernah
kemana-mana, semasa hidupnya beliau banyak dikunjungi dan punya hubungan
kedekatan dengan para habaaib
dan para ajengan sufi, baik dari Bogor, Sukabumi, Purwakarta
dan Jakarta. Bahkan, sejumlah tamu dari luar daerah banyak yang bersilaturrahmi
terhadapnya. Ia tidak memilih-milih tamu yang datang ia membuka diri kepada
siapa pun dan selalu respons menerima tamu yang bersilaturrahmi kendati
terkadang keinginan tamu itu ada yang menyimpang menurut pandangannya.
Semasa hidup hampir
semua kegiatannya dihabiskan untuk beribadah. Hal itu terlihat dari
tulisan-tulisan wiridan dana amalan ibadah kesehariaan yang ia tulis dalam
sebuah buku. Saat beliau meninggal, dalam lembaran kitab kuning yang biasa
diajarkan ke santri ada sebuah tulisan yang mengkisahkan lengkap dengan tanggal,
hari bulan dan tahunnya, ia menceritakan pernah sepuluh kali bermimpi bertemu
dengan Rasulullah SAW. Dia juga pernah bermimpi berkumpul dengan para wali dan
di hadapan para wali itu nama beliau diperkenalkan oleh Waliyullah Syeh Abdl Qodir Jaelani seraya
janggut beliau sempat diusap oleh pemimpin para wali itu. Saat terbangun dari
tidur janggut KH. Ahmad Tabroni yang hitam lebat tiba-tiba berubah warnanya
menjadi putih. Setelah kejadiaan itulah, maka rambut dan bulu alis KH. Ahmad
Tabroni itu berwarna hitam, tetapi hanya janggutnya saja yang berwarna putih.
Tulisan itu baru terbuka oleh putranya
setelah KH. Ahmad Tabroni wafat.
Bahkan, saat beliau menjelang tidal lama lagi akan wafat ia bercerita tidak
mimipi tetatapi dalam keadaan terjaga ia di datangi dan berdialog langsung
dengan Raasulullah SAW, pertemuan dengan
kekasih Allah itu ia ceritakan kepada sahabatnya yang tinggal di satu
desa yaitu haji Zamzami.
Beliau seorang
sufi dan menolak duniawi, pernah
suatu hari segerombolan burung walet masuk dan bersarang
di dalam majlisnya, lalu beliau mengusirnya. Ketika beliau meninggal di dalam
kamarnya menumpuk amplop yang masih utuh belum dibuka. Amplop yang diduga
pemberian tamu itu hanya diletakan saja dan hampir mengisi bagian dari lemari pakaiannya.
Beliau termasuk ulama yang tidak pernah mau disentuh bantuan dari pemerintah
untuk membangun pesantrennya. KH. Ahmad Tabroni termasuk kyai menerima
kehadiran penguasa yang datang ke pondok dengan biasa-biasa saja. Atau
terkadang tidak ia temui.
Kendati sikapnya
demikian ia tidak anti pemerintah, ia mengamalkan ajaran gurunya ( Mama
Sempur) yang bunyinya wajib taat
terhadap pemerintah yang lalim sekalipun, selagi tidak memerintahkan durhaka
kepada Allah SWT. Saat pemilihan partai politik atau pemilu beliau pun
mengikutinya dengan masuk ke bilik suara, tapi kartu suara yang saat itu hanya
tiga partai itu ditutup kembali satu pun tidak ada yang dicoblos. Beliau hanya
mencoblos satu kali saat pemilihan kepala desa Rangdumulya HM. Rotib, alasannya beliau mengenal sosok
yang dipilihnya secara baik dan berakhlak baik.
Pernah suatu ketika di
desanya, kabel PLN yang melintas tepat ke salah satu bangunan pesantren
mengeluarkan percikan api dan mengeluarkan suara yang menggelegar. Percikan itu
juga terjadi ke hampir seluruh standar kabel di sejumlah rumah. Saat itu
masyarakat secara bersama-sama lari
berhamburan menuju areal pesawahaan, menghindari peristiwa tersebut.
Hanya KH. Ahmad yang
tidak berada di pesawahan. Saat akan
dijemput, salah seorang warga, beliau
tidak mau mengungsi sebaliknya malah menggelar sajadah untuk sholat sunat.
Karena khawatir terjadi sesuatu salah seorang menungguinya. Setelah solat
selesai beliau berdiri di bawah lintasan kabel dan kabel yang mengeluarkan
percikan api itu terputus, anehnya tidak menimpanya melainkan kabel itu
terjatuh dalam posisi menggeser dan percikan api itu mati.
Masih banyak
kisah-kisah karomah KH. Ahmad Tabroni
yang terlalu panjang untuk di tulis termasuk pertemuannya denga Salah seorang
habib sahabatnya dari Sukabumi di Mekah yang sepulang dari mekah habib tersebut
kaget ternyata KH. Haji Ahmad tidak ke mana-mana.
SEPERTI TAHU BELIAU
AKAN WAFAT
Setiap bulan suci
Ramadhan program mengaji sampai khatam (kilatan) salah satunya mengkaji kitab
dala’il sampai kupas tutas. Pada bulan-bulan lainnya tidak ada pengajian yang
membahas kitab dalail. Salah seorang tamu bernama Arif Rahman Hakim, putra
salah seorang kyai dari Kampung Tuwel, Kecamatan Selawi Kab. Tegal meminta
mengaji Dala’il. Biasanya belaiu menyarankan untuk mengikuti saja di bulan
Ramadhan. Namun, beliau malah mengajarkannya hingga khatam. Ternyata KH. Ahmad
Tabrani tidak menemukan lagi bulan Ramdhan karena beliau keburu wafat.
Pada akhir hidupnya,
beliau harus di Rawat di Rumah Sakit Dewi Sri Karawang, kerana menderita sakit
radang tenggorokan. Saat sakit ibadah
kesehariannya tidak ditinggalkan. Bahkan ia mempertahankan tetap langgeng
wudhu. Suatu ketika ia meminta yang menungguinya di rumah sakit untuk tidak
gaduh dan dimita para penunggunya itu tidur, tida lagi terjaga semalaman.
Alasannya, beliau ingin ber istirahat. Sepertinya isyarat itu tertangkap karena
pada saat itu sekitar tahun 1997 ia harus
beristirahat panjang selama-lamanya menemui sang Khalik. (**)
0 komentar
Silahkan Beri Komentar Saudara...